Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014 (Foto: Kompas/Kristianto Purnomo-Roderick Adrian Mozes)
Ketika Kampanye Hitam Gagal Menghentikan Orang Baik
Satu hari sebelum Pilpres 9 Juli, saya mendapat email dari seorang teman yang dengan polosnya bertanya, “A Maul, saya penasaran sama asal usulnya Jokowi, ibu-bapanya, keluarganya. Soalnya kan ada isu tentang PKI tea.” Alih-alih reaktif, saya malah jadi termenung membaca pertanyaan ini, karena yang mengirimnya adalah ibu dua anak, lulusan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pertanyaannya, kok bisa orang baik dan berpendidikan sepertinya termakan isu murahan seperti itu.
Sejak mencalonkan diri menjadi presiden, Jokowi terus-menerus dihantam kampanye hitam, mulai dari Jokowi anti islam, memiliki nama asli Hebertus, dikendalikan oleh kelompok Kristen, keturunan Cina, bapaknya adalah Oey Hong Liong, dibacking cukong-cukong Cina, Jokowi itu agen Zionis, agen Freemason, agen Amerika, agen Syiah, agen komunis, ibu-bapaknya PKI, Jokowi gagal di Solo, Jokowi cuma bisa ngomong “I don’t think about that”, Jokowi mengkhianati sumpah jabatan, terlibat korupsi Transjakarta, mengirimkan surat penangguhan penyidikan kasus Transjakarta, dan dan dan lainnya yang saking banyaknya, saya sudah tak ingat lagi, sampai ada orang yang berkata, “Kalau semua tuduhan itu benar berarti Jokowi itu melebihi superhero karena dia mampu menyatukan berbagai kekuatan yang saling berselisih yang ada di bumi ini, mulai dari agen Zionis, Syiah, Kristen, Freemason, Cina, Amerika, sampai Komunis, semuanya ada di Jokowi.
Dari semua kampanye hitam itu yang paling efektif adalah kampanye SARA, sehingga berkembang persepsi di masyarakat jika Anda mengaku Muslim, pilihan Anda adalah Prabowo. Ketika saya dengan terang-terangan memutuskan mendukung pasangan Jokowi-JK, seorang teman mengirimkan email keterkejutannya, “Lo pilih No. 2 ul? Gue pikir lo pilih No.1, soalnya lo kan orangnya agamis!” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang jujur dari seorang teman, dan persis merefleksikan opini yang berkembang di masyarakat.
Bukan saya saja yang dipertanyakan keislamannya. Ketika memasang avatar No.2, Mba Wina (Ligwina Hananto) diserang dengan berbagai macam hujatan, sampai ada yang berkata, “Mba buka aja jilbabnya, nanti Tuhan tersinggung dengan pilihan Anda!” (lihat videonya di sini [1]). Diskusi-diskusi di grup W.A. juga tidak kalah ekstrem, sampai ada kata-kata, “Mau kalian semua dipimpin oleh kafir?” Dan ini keluar dari mulut seorang teman, orang baik-baik, taat beribadah dan berpendidikan. Namun entah mengapa di Pilpres ini banyak orang menjadi reaktif dan mudah terhasut.
Kalau saya perhatikan, tidak sedikit orang-orang yang terhasut berita bohong adalah orang-orang yang baik. Salah satunya adalah para orang tua kita, generasi tua yang tidak punya akses terhadap internet. Tidak sedikit teman-teman yang mendukung Jokowi-JK, para orang tua-nya adalah pendukung Prabowo-Hatta karena alasan agama. Ketika rumor yang meragukan keislaman Jokowi menyebar lewat pengajian, sms, dan sebagainya, mereka tidak memiliki akses informasi yang memadai (i.e. internet) untuk memverifikasi kebenaran berita tersebut. Kebohongan yang terus diulang-ulang secara “massive” akhirnya tampak seperti kebenaran. Terlepas apakah di kemudian hari rumor itu terbukti hanya bohong belaka, namun persepsi itu sudah tertancap secara psikis dan bersarang di dalam kepala mereka.
Dalam masyarakat dengan budaya rumor (lihat “Masyaraka rumor, budaya rumor” [2]), orang-orang hanya akan mendengar apa yang mereka mau dengar saja, tanpa peduli kebenarannya. Begitu pula yang terjadi pada para orang tua kita. Ketika persepsi Prabowo yang identik dengan Islam sudah tertancap di kepala, maka pilihan TV bagi mereka tidak akan beranjak dari TV-ONE. Mereka akan terus menikmati berita-berita yang mengagungkan Prabowo, karena semuanya sempurna, persis seperti yang diharapkan. Generasi muda masih memiliki pilihan untuk memverifikasi berita yang ada melalui internet, tapi tidak untuk generasi tua.
Hasil Pemilu di luar negeri dimana masyarakatnya sudah melek internet, melek demokrasi dan relatif lebih berpendidikan dan lebih kritis dari rata-rata masyarakat kita, semakin menguatkan dugaan ini. Hampir di semua TPS di kota-kota besar di luar negeri, Jokowi-JK unggul dengan cukup telak, bahkan tidak sedikit yang unggul di atas 80%. Hanya di beberapa negara di Timur Tengah, Jokowi-JK kalah tipis dari Prabowo-Hatta. Dan kita semua tahu, demokrasi seperti apa yang ada di Timur Tengah. Gelombang demonstrasi dan protes yang dikenal dengan The Arab springs membuka mata dunia, bagaimana diktator-diktator di negara-negara Arab mengekang dan menindas rakyatnya. Sedikit banyak mindset negara tempat berdomisil berpengaruh terhadap karakter pemilihnya. Berikut hasil Pemilu di 40 kota besar dunia [3].
Source : http://politik.kompasiana.com/2014/07/13/ketika-kampanye-hitam-gagal-menghentikan-orang-baik-668047.html
No comments:
Post a Comment