Ahok: Pemimpin yang tak santun ?
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sedang dicaci sejagad raya. Sebabnya? Karena beliau menghamburkan kata-kata makian dalam wawancara Kompas TV yang disiarkan live pada 17 Maret 2015. Ahok marah, merasa upayanya menentang korupsi yang berurat akar di Jakarta itu disandung. Host pun terlihat gerah dan salah tingkah mendengar jawaban-jawaban Ahok serta bolak-balik mengingatkan bahwa mereka sedanglive.
Masyarakat terperangah. Sosial media geger. Sebagian membela. Sebagian meradang. Yang membela menyatakan itu memang makian yang pantas untuk koruptor. Yang meradang, bersuara atas nama azas kepatutan. Anggota DPR RI (fraksi Golkar), Tantowi Yahya lantang berucap kalau Ahok melanggar etika sopan santun warga Indonesia yang ketimuran dan dikenal beretika (detik.19 2015: Ucapan Bisa Ditiru)
Ahok melanggar etika?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Frans Magnis Suseno (1987) juga berpendapat bahwa etika adalah sebuah ilmu. Bukan ajaran. Etika bertugas mengkritisi norma hidup manusia.
Lalu di mana posisi santun? Menurut Sonny Keraf (2000), sopan santun adalah norma yang mengatur tata cara lahiriah manusia dalam bergaul. Itulah etiket. Masalahnya, banyak yang merancukan antara etiket dan etika. Karena itu, wajar bila seorang anggota dewan yang terhormat salah bermaksud. Harap maklum.
Menariknya, menurut Keraf lagi, walau norma sopan santun dipakai untuk menilai pribadi seseorang, tak lalu serta-merta dapat dijadikan variabel untuk menilai moral orang tersebut. Adalah norma moral yang menilai sikap moral. Tak ada hubungan dengan sikap lahiriah, seperti cara bicara atau cara berpakaian tetapi terkait tanggung jawab, keadilan, kesetiaan dan yang sejenisnya. Kita cenderung mengira orang santun itu bermoral atau orang bermoral pastilah santun. Tak heran, kita panik saat melihat seorang Ahok tak sesuai dengan perkiraan kita.
Saya sendiri tak setuju dengan pemilihan kata-kata Ahok. Tak pantas tentu saja, terlepas siapapun dia, untuk berkata kasar. Di depan atau di belakang publik. Ahok memang melanggar norma etiket. Namun jika ingin konsisten bicara melalui kacamata norma, kita harus juga mengakui bahwa tak ada norma moral yang dilanggar. Upayanya agar penduduk DKI Jakarta menerima hak tanpa direduksi, semangat menciptakan birokrasi baru dan bersih dengan memberi kesempatan PNS muda maju memegang jabatan, hingga usaha menjaga pemakaian anggaran di Pemprov DKI berjalan tepat sasaran dan tak menjadi lahan korupsi, semuanya itu dalam konteks norma moral.
Sah-sah saja bila ada pihak yang tak mempercayai sikap moral Ahok dan menuduh "ada udang di balik kwetiauw" untuk semua kebijakannya. Waspada memang perlu. Tapi tak usah paranoid karena saya percaya, waktu akan membuktikan semua ucapan dan kinerja beliau. Nyata atau sekedar jargon. Sama seperti waktu yang telah membuktikan kepemimpinan 2 periode-nya Sutiyoso ternyata hanya mewariskan Jakarta yang "babak belur".
Karenanya, saya lebih melihat makian Ahok itu sebagai ungkapan rasa frustasi. Tentu berbeda makna dengan makian anggota DPRD DKI yang jelas-jelas ditujukan kepada Ahok pada 5 Maret 2015 kemarin. Buat saya, makian Ahok adalah ekspresi kemarahan karena merasa dipermainkan dalam APBD DKI 2014. Ekspresi kekecewaan karena upayanya mengefisiensikan anggaran melalui sistem yang transparan dijegal DPRD DKI. Ekspresi yang (sayangnya) melanggar norma sopan santun tapi (untungnya) tak menyinggung norma moral.
Tentulah, bila diharuskan memilih, lebih baik saya dipimpin pemimpin yang tak santun tapi bermoral ... daripada pemimpin yang belagak santun tapi tak bermoral. Anda?
Lalu, apakah bila seorang tak santun, dia tak layak juga menjadi pemimpin?
Untuk saya, karakter kasar serta kemampuan kepemimpinan adalah 2 hal berbeda [walau banyak opini yang mengaitkan 2 hal tersebut]. Ali Sadikin, yang disebut-sebut sebagai pemimpin terbaik Jakarta yang pernah ada di dunia, masuk kategori orang berkarakter kasar. Bila marah, bicaranya tak pernah santun karena suka membawa seisi kebun binatang. Teman baik saya pernah bercerita, salah seorang keluarganya, yang bekerja dengan Ali Sadikin, pernah ditampar karena melakukan kesalahan terkait kebijakan beliau dahulu.
Luar biasa. Lalu, anda akan bilang orang kasar tak mampu jadi pemimpin?
Tapi Ahok sudah memberi pengaruh buruk untuk anak-anak kita!
Baiklah. Semua tahu kalau kata-kata makian yang dikecam banyak orang itu sebenarnya telah sering tayang dalam berbagai rupa di media televisi kita. Macam-macam kemasannya. Lihatlah acara-acaranya saat ini. Sarat konsep yang melecehkan akal sehat, dialog memaki, adegan tampar menampar hingga hinaan yang jadi lawakan. Namun, justru ratingnya itu paling tinggi.
Yang menggelikan, Komisi Penyiaran Indonesia dan Tantowi Yahya misuh-misuh mengecam Ahok, beralasan gaya bahasa buruk Ahok rentan ditiru khayalak, terutama anak-anak dan remaja (www.tempo.co.id tertanggal 23 Maret 2015: Akibat Siaran Langsung Ahok, Kompas TV Kena Sanksi KPI danwww.gatra.com tertanggal 19 Maret 2015: Tantowi: Gaya Bicara Ahok Yang Kasar Bisa Ditiru Anak Anak).
Loh, di mana KPI selama ini saat sinetron-sinetron yang kampungan itu tayang? Tantowi Yahya sedang apa saat rekan-rekannya, sesama anggota dewan yang terhormat memaki-maki Ahok saat sidang mediasi APBD DKI 2015? Kecaman mereka itu jadi lawakan karena seperti "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri."
Terus terang, saya merasa terhina. Apakah begitu dungunya saya hingga tak mampu menjalankan tugas sebagai orangtua untuk memberi penjelasan kepada anak-anak saya mengenai semua hal yang tak patut ditiru dari media televisi? Itu sudah jadi beban saya kok sedari dulu karena selama ini tayangan-tayangan di TV Nasional itu nyaris berupa sampah semuanya!
Saya gatal untuk berkomentar bahwa masyarakat memang memiliki doublestandard. Di satu sisi, kita menikmati berbagai adegan tak santun di media televisi. Di sisi lain, tak mau terima kalau ada pemimpin yang suka memaki. Kita lebih menghargai pemimpin yang santun dengan tutur kata manis. Masalah kalau itu hanya pencitraan, tak apalah. Masalah kalau di balik senyum manis itu, ada tangannya yang merampok, tak apa-apa juga. Aneh.
Saya curiga kita ini sebenarnya kumpulan orang-orang hipokrit. Menggemari sangat pemimpin yang piawai berbahasa sopan. Bertutur kata halus. Kalau perlu, dibumbui petuah-petuah keagamaan. Enak didengar telinga. Untuk kita, itulah definisi pemimpin yang baik. Titik. Urusan sikap moralnya? Ah, itu masalah belakangan.
Ada yang salah sepertinya dengan kita....
werdhapura sanur.
dua puluh tiga maret.
Catatan saya, yang ber-KTP DKI
dua puluh tiga maret.
Catatan saya, yang ber-KTP DKI
Source : Sukanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10153251539384309&set=pcb.10153251539759309&type=1&theater
No comments:
Post a Comment