Petani dan Pemilu
Makan sayur loncom—seperti sayur asam, tetapi tanpa asam—dengan tempe goreng dan sambal tomat bersama keluarga terasa nikmat sekali. Ketika sedang menikmati makanan, istri saya bercerita bahwa sambalnya berasal dari cabai kiriman tetangga. Dia baru saja berhasil panen cabai, tetapi harganya anjlok. Makanan pun itu terasa berhenti ditenggorokan.
Hidup seorang petani memang berat. Ketika harga kedelai melambung tinggi, petani menanam kedelai. Namun, saat musim panen datang, harga kedelai jatuh. Kala harga cabai melangit, petani banting setir menanam cabai. Sewaktu musim panen tiba, sekalipun berhasil panen, namun tetap rugi, sebab harga cabai anjlok. Biaya produksi, seperti: bibit, pupuk, pestisida, dan, tenaga, jauh lebih mahal dari hasil penjualan panen. Walau begitu, petani tetap setia menjadi petani.
Ingar-bingar kampanye capres dan cawapres sedemikian semarak. Capres yang satu menjanjikan: ”Kalau terpilih menjadi presiden, akan membantu petani, setiap desa/ kelurahan dibantu satu milyar rupiah.” Capres yang lain menjanjikan: ”Selama menjadi Gubernur telah memberi Kartu Jakarta Sehat dan Pintar. Kalau terpilih menjadi presiden, akan memperluas menjadi Kartu Indonesia Sehat dan Pintar, bentuk pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia yang membutuhkan.”
Bagi masyarakat petani, janji kampanye sudah dianggap pidato politik belaka. Sebab, biasanya kalau sudah terpilih, lupa pada janjinya. Dahulu berjanji akan menyejahterakan petani, tetapi kenyataannya tidak. Buktinya, hasil pertanian lokal harganya selalu jatuh, sementara di pasar, produk pertanian impor melimpah. Buah-buahan, sayur-sayuran, daging, dan produk pertanian lainnya melimpah. Mengapa kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada importir, bukan hasil pertanian lokal? Apa karena kebijakan impor ada fee yang menguntungkan, sementara hasil pertanian lokal tidak? Di mancanegara, hidup petani sejahtera, tetapi di Indonesia, hidup petani masih merana.
Semoga presiden baru benar-benar berpihak pada petani.
Editor: ymindrasmoro
Source : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/petani-dan-pemilu
Hidup seorang petani memang berat. Ketika harga kedelai melambung tinggi, petani menanam kedelai. Namun, saat musim panen datang, harga kedelai jatuh. Kala harga cabai melangit, petani banting setir menanam cabai. Sewaktu musim panen tiba, sekalipun berhasil panen, namun tetap rugi, sebab harga cabai anjlok. Biaya produksi, seperti: bibit, pupuk, pestisida, dan, tenaga, jauh lebih mahal dari hasil penjualan panen. Walau begitu, petani tetap setia menjadi petani.
Ingar-bingar kampanye capres dan cawapres sedemikian semarak. Capres yang satu menjanjikan: ”Kalau terpilih menjadi presiden, akan membantu petani, setiap desa/ kelurahan dibantu satu milyar rupiah.” Capres yang lain menjanjikan: ”Selama menjadi Gubernur telah memberi Kartu Jakarta Sehat dan Pintar. Kalau terpilih menjadi presiden, akan memperluas menjadi Kartu Indonesia Sehat dan Pintar, bentuk pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia yang membutuhkan.”
Bagi masyarakat petani, janji kampanye sudah dianggap pidato politik belaka. Sebab, biasanya kalau sudah terpilih, lupa pada janjinya. Dahulu berjanji akan menyejahterakan petani, tetapi kenyataannya tidak. Buktinya, hasil pertanian lokal harganya selalu jatuh, sementara di pasar, produk pertanian impor melimpah. Buah-buahan, sayur-sayuran, daging, dan produk pertanian lainnya melimpah. Mengapa kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada importir, bukan hasil pertanian lokal? Apa karena kebijakan impor ada fee yang menguntungkan, sementara hasil pertanian lokal tidak? Di mancanegara, hidup petani sejahtera, tetapi di Indonesia, hidup petani masih merana.
Semoga presiden baru benar-benar berpihak pada petani.
Editor: ymindrasmoro
Source : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/petani-dan-pemilu
No comments:
Post a Comment