Joko Widodo dan Megawati Soekarno Putri / kompas.com
Jokowi Bukanlah Kartu As Terakhir Megawati
Pemilu merupakan arena pertempuran modern. Banyak strategi yang harus dikerahkan demi kemenangan. Dalam Pemilu 2014 ada 2 arena pertempuran. Yang pertama adalah Pileg dan yang berikutnya adalah Pilpres. Dua duanya berkaitan dan tidak bisa dilepaskan. Kekurangan suara dalam Pileg akan menentukan ikut tidaknya sebuah Partai untuk mengajukan Capres. Nah untuk menghadapi sebuah arena pertempuran kiranya semua partai harus mempunyai senjata atau kartu As. PDIP sejauh ini merupakan partai dengan amunisi terhebat. Sosok Jokowi yang begitu populer dan dicintai sebagian besar rakyat merupakan Kartu As PDIP atau Megawati Soekarnoputri.
Langkah Megawati mencapreskan Jokowi sebelum Pileg merupakan langkah brilian. Disitu bisa kita lihat kematangan beliau dalam hal melihat momentum dan mengeluarkan Kartu As nya disaat yang tepat. Kenapa tepat? Ada 2 hal yang mendasari kenapa Jokowi dicapreskan tepat 2 hari sebelum kampanye Pileg. Yang pertama karena Jokowi adalah magnet untuk rakyat. Elektabilitas tertinggi dibandingan dengan capres lain. Dengan mencapreskan Jokowi maka para caleg PDIP bisa menjual nama Jokowi disaat kampanye. Yang kedua jelas untuk mengulur waktu. Jokowi masih membutuhkan waktu banyak untuk bekerja di DKI. Waktu untuk membuktikan bahwa dalam waktu singkat dia sudah berbuat banyak untuk DKI. Mencapreskan Jokowi jauh2 hari sebelum Pileg sama juga dengan memberi waktu buat partai lain untuk membuat strategi menjegal Jokowi. Mereka akan mempunyai banyak waktu untuk membuat opini negative bahwa Jokowi juga merupakan tokoh ambisius dan tidak amanah.
Ketika Megawati sudah mengeluarkan Kartu As terhebatnya maka disinilah pertempuran harusnya semakin menarik. Kenapa menarik? Meski Jokowi merupakan Kartu As mematikan tapi bukan berarti itu merupakan skakmat bagi partai lain. Kenapa demikian? Karena pencapresan Jokowi masih merupakan bola liar. Di masyarakat banyak yang pro tapi juga ada sebagian yang tidak setuju. Kalau seluruh masyarakat mampu berpikir logis bahwa menyelesaikan masalah Jakarta harus ada campur tangan dari pusat, maka harusnya mereka semua menyetujui bahwa Jokowi wajib dicapreskan. Namun ternyata tidak semuanya menyetujui. Dari survey terakhir menyebutkan 69% warga DKI rela Jokowi nyapres, namun masih ada 31% yang tidak setuju yang berarti masih ada kemungkinan untuk Partai lain mengolah suara tersebut.
Seandainya Partai2 lain sukses menggiring opini negative bahwa Jokowi tidak amanah dan ambisius di saat yang tersisa untuk kampanye pileg ini,maka sebetulnya Megawati perlu untuk mengeluarkan kartu As lainnya tepat sebelum Pileg. Kenapa perlu sebelum Pileg dan untuk apa Kartu As itu? Diperlukan karena Pileg merupakan syarat pertama untuk Pilpres dan mempunyai parlemen yang dominan akan membantu pemerintahan yang kuat. Dengan demikian Kartu As Megawati berikutnya adalah untuk posisi Cawapres. Kalau banyak kalangan menilai bahwa bila Jokowi dipasangkan dengan siapa saja akan menang, maka itu adalah strategi yang keliru. Pasangan capres dan cawapres yang tepat akan semakin membuat rakyat tidak mampu menolak PDIP dan ini berujung pada kemenangan pileg.
Berdasarkan perkataan Sekjen PDIP Tjahyo Kumolo bahwa penentuan cawapres akan dilakukan setelah Pileg, tentu itu hanyalah kata2 diplomasi saja. Seperti halnya dulu ketika Megawati mengatakan akan mengumumkan capres setelah Pileg. Namun terbukti beliau mengumumkan capres sebelum Pileg. Maka disinilah kepandaian Megawati dalam hal berdiplomasi dan mengeluarkan kartu As di momentum yang tepat. Pegangan beliau bahwa Politik itu dinamis serta pengalamannya yang dahulu membuat nya mampu mengeluarkan keputusan disaat yang tepat.
Nah melihat kondisi terkini, perlukah Megawati mengeluarkan kartu As terakhirnya? Mari kita liat kondisi terkini dari partai2 besar.
1. Partai Gerindra
Partai ini merupakan partai yang tidak terima atas pencapresan Jokowi. Dengan lantang mereka menyebut bahwa PDIP telah mengingkari Perjanjian Batu tulis. Disebutkan bahwa Megawati akan mensupport Prabowo Subianto menjadi Capres RI2014. Sungguh merupakan suatu langkah blunder bagi Gerindra. Kenapa? Walau isi perjanjian batu tulis disebar pun, tanggapan masyarakat tetap sama. Perjanjian tersebut tidak bersifat mengikat karena PDIP kalah. Megawati dan PDIP tidak mendapat apa2 di pemilu 2014. Jadi wajar bahwa perjanjian tersebut tidak berlaku lagi. Maka dari itu sungguh tindakan yang tidak patut untuk menuntut PDIP menghormati perjanjian Batu Tulis.
Langkah blunder berikutnya kader gerindra menuntut Jokowi karena akan meninggalkan jabatan Gubernur. Bahwa mereka menuntut Jokowi harus menyelesaikan jabatan 5 tahun. Sebuah langkah yang tidak cerdas karena hak menjadi capres adalah hak setiap warga. Tidak ada UU yang dilanggar Jokowi karena pencapresannya.
Blunder berikutnya justru dilakukan oleh Prabowo sendiri. Dengan lantang di kampanye terbuka, Prabowo menyindir seorang capres (penulis beropini Jokowilah yang dimaksud) sebagai boneka dan seorang yang plin plan.
Kenapa dikatakan blunder, karena opini yang berkembang menunjuk bahwa Prabowo tidak ksatria, tidak siap untuk bersaing. Dalam hal ini,masyarakat memang sudah cerdas untuk menilai.
2. Partai Demokrat
Partai ini langsung menyerang dengan menggunakan jubirnya yang terkenal, Ruhut Sitompul. Ruhut mengatakan bahwa Indonesia harus siap2 hancur jika Jokowi jadi presiden. Sungguh sangat disayangkan counter attack yang tidak cerdas ini. Mereka seolah tidak belajar dari kesuksesan mereka sendiri bahwa SBY dulu juga dicitrakan terzolimi sehingga mendapat simpati dari masyarakat. Kini dengan serangan tersebut, malah semakin membuat jokowi mendapat simpati.
Blunder selanjutnya malah dilakukan SBY sendiri. Meski blunder ini tidak bersinggungan langsung dengan Jokowi, namun justru malah memperburuk citra. Batalnya SBY tampil di Kick Andy diperkeruh dengan rumor bahwa beliau ingin mengintervensi pertanyaan2 yang diajukan oleh host Andy F Noya. Hanya pertanyaan2 yang bernada positif yang boleh diajukan. Tentunya Public bisa menilai bahwa Pemerintah sedang menutup nutupi sesuatu yang tidak beres.
Yang terakhir adalah kejutan dari Anas Urbaningrum. Anas mengeluarkan klaim bahwa dia punya data dana kampanye demokrat pada pemilu 2009 dari dana Century. Walau masih belum dibuktikan, tentunya rumor ini bakalan semakin menggoyang demokrat bahwa mereka tercitrakan sebagai partai terkorup saat ini.
3. Partai Golkar
Partai Golkar merupakan partai yang sangat matang. Inilah kompetitor PDIP terbesar saat ini. Sangat lihai dalam berpolitik.Ini terbukti dari reaksi mereka ketika PDIP mengumumkan pencapresan Jokowi. Dengan segera Jusuf Kalla, mengeluarkan pernyataan bahwa ia bersedia menjadi cawapres dari Jokowi. Diikuti pula dengan Akbar Tanjung yang mengeluarkan pernyataan yang sama. Ini merupakan langkah yang cerdas dari Golkar. Dengan memajukan ARB sebagai capres, sambil meliat hasil Pileg dan survey terakhir pilpres, mereka mencoba menggoda PDIP untuk mengamankan posisi cawapres. Walau nanti ARB kalah di pilpres, at least Golkar masih punya posisi wapres untuk dipegang.
Namun sungguh disayangkan, langkah cerdas dari kader senior Golkar tidak diikuti oleh ARB sang Capres. Entah darimana asalnya, muncul video ARB , Aziz dan duo Zalianty di Youtube sedang berlibur ke pulau bulan madu Maladewa. Meski menyebut itu black campaign, tentunya masyarakat tidak bodoh. Empat manusia berlainan jenis sedang berlibur di pulau bulan madu menggunakan private jet tentunya public bisa menilai mereka sedang melakukan apa. Komentar negative tentunya mendominasi video tersebut.
Skandal tersebut jelas bakal mempengaruhi suara Golkar di pileg maupun pilpres. Tentunya Golkar tidak tinggal diam. Sejauh skandal ini dilihat, tidak semua media memberitakannya. Tribunews.com, tempo.co, merdeka.com dan kompas.com menampilkan skandal ini. Sampai sejauh ini detik.com dan saya yakin vivanews group media tidak memberitakannya. Ini jelas merupakan cara Golkar untuk meredam issue. Satu hal yang patut diacungi jempol untuk mereka.
Berdasarkan kondisi terkini partai2 besar, tentunya sekarang PDIP melenggang mulus. Megawati belum perlu untuk mengeluarkan Kartu As terakhirnya. Jokowi sendiri bisa diandalkan untuk menarik massa, sambil meliat hasil Pileg. Namun seandainya Megawati mengeluarkan Kartu As, siapakah sosok yang bisa dianggap sebagai Kartu As terakhir PDIP? Sosok yang bakal mampu men skakmat rakyat dan parpol?
Tidak lain dan tidak bukan adalah Tri Rismaharini. Walikota Surabaya dengan segudang prestasi. Inilah kartu As lain PDIP untuk mengunci massa terutama di Jatim. Mempunyai integritas dan empati seperti halnya Jokowi. Coba bayangkan PDIP menawarkan Jokowi-Risma dalam satu paket. Dua sosok pengabdi masyarakat. Tentunya masyarakat tidak akan berpikir 2 kali untuk mempunyai pemimpin ini. PDIP pun akan dikenal sebagai wadah aspirasi rakyat. Masyarakat tidak akan mampu memilih yang lain sementara parpol pun kehilangan amunisi untuk menggiring opini negative tentang Jokowi karena ada Risma disitu.
Akhir kata ini hanya opini penulis dan semoga Ibu Mega mendengar dan duet Jokowi- Risma terwujud.
Salam Indonesia Raya
Source : plitik.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment